Persona - dasar dari kata 'personality' - berasal dari bahasa latin, yang terjemahannya kurang lebih berarti "topeng" seperti dalam suatu teater. Orang-orang yang bersandiwara mengenakan topeng pada wajahnya, bahkan pada dirinya, menjadi orang yang lain, pribadi yang lain.
Jadi, begitulah kita menemukan kata personality atau kepribadian, yang jika dipandang dari asal usul kata berarti apa yang kita kenakan untuk dilihat orang lain, sebagai topeng yang menyembunyikan diri kita yang sesungguhnya. Itu adalah peran yang kita mainkan, seperti menjadi Pipit, atau menjadi Gilang.
Dalam film, hal itu menjadi lebih terfokus. Ada perekam suara, ada kamera, ada lampu-lampu, ada sutradara yang akan menyerukan "action!" untuk memulai pengambilan suatu scene, adegan. Di satu sisi, memerankan tokoh adalah pemakaian topeng.... tapi di sisi lain, mungkin, justru itulah apa adanya. Ketika air mata bercucuran dengan sendirinya. Ketika pelukan terasa hangat, bukan hanya di kulit, tapi sampai jauh ke dalam hati. Bukan sekedar akting, tetapi merasakan kehilangan. Kekhawatiran. Ingin menangis....
Kadang-kadang, dalam keseharian kita justru memakai persona, topeng kita, untuk menebar pesona kepada orang lain di sekitar. Tapi ada kalanya juga, justru yang tampil adalah kegalauan apa adanya, seperti seorang ayah yang anaknya sakit, yang masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, dan tubuh yang terasa lelah. Akting melelahkan, sedang masih banyak pekerjaan yang sungguhan harus diselesaikan.
Ini bukanlah akting, bukan topeng yang dipakai, melainkan sejatinya diri manusia yang memikul banyak beban. Dalam kehidupan nyata, ada kegelapan-kegelapan yang menakutkan karena di sana banyak ketidak-pastian. Hidup ini merupakan ketidak-pastian. Ada kerjaan yang tidak beres, ada pengalaman kehujanan, dan ada sakit penyakit tak terduga. That's life.
Ironisnya, apa yang pasti adalah akhir dari kehidupan, yang kita sebut kematian. Satu hal yang sama, yang dialami oleh orang kaya atau miskin, pahlawan atau penjahat, siapa saja, adalah kematian. Pertanyanyaan ada dua. Yang pertama adalah kapan? Yang kedua, lebih dalam dari itu, apakah yang ditinggalkan dari hidup di dunia? Mana yang lebih menakutkan: hidup yang singkat, atau hidup yang tidak bermakna? Mana yang lebih penting: persona yang mempesona, atau nilai pribadi sejati dibalik persona itu?
Tidak sulit untuk merias wajah, membuat garis-garis, memberi warna warni. Kita manusia menilai berdasarkan penampilan muka, menafsirkan tarikan raut wajah, memperhatikan sorotan mata. Tapi, itu persona, yang menjadi sangat menarik dalam sebuah film.
Tapi, film Bintang ini justru mengajak kita untuk melihat apa yang ada di balik topeng, di balik persona. Karena, barangkali kita juga sedang bersandiwara sekarang, saat membaca blog ini, saat sedang menonton film ini. Tantangannya juga sama: apakah kita berani melepaskan topeng, dan menunjukkan seluruh keberadaan kita ke hadapan Tuhan, agar Dia mengobati luka di balik topeng yang sempurna?
Terpujilah TUHAN!
Salam kasih,
Donny
No comments:
Post a Comment